Nusakambangan dan Pejagan pada Masa Penjajahan Jepang.
Ketika Belanda kalah oleh Jepang, sebelum Jepang datang ke Cilacap, Pak Wedana datang ke Motean, menyuruh semua penduduk Motean pindah ke Sidareja dan Cisumur. Karena diprediksi akan ada huru-hara. Maka semua orang mengungsi. Termasuk semua orang Cina di Motean pindah ke Cilacap gara-gara Jepang. Setelah itu mereka tidak pulang ke Motean lagi. Sekolah bubar, geger ngilen, saya bersama orang tua ikut mengungsi dengan naik perahu ke Cisumur. Rumah dan ternak kami tinggalkan begitu saja di sini. Saat datang ke Cilacap tahun 1942, Jepang tidak mendirikan pos. Hanya menggunakan bioskop untuk kantornya. Pelabuhan Cilacap digempur Jepang melalui udara. Kawasan Segara Anakan juga termasuk daerah yang menjadi medan pertempuran. Pesawat-pesawat Jepang setiap hari berseliweran di langit menembaki kapal laut dan markas Belanda di Cilacap. Bunyi sirene meraung-raung di kejauhan tidak ada hentinya.
Sementara malam hari suasana sunyi mencekam. Di Cisumur situasi sangat sulit. Banyak yang kelaparan dan terkena penyakit. Tidak sedikit yang meninggal dalam pengungsian di sana. Sementara pertempuran di Cilacap masih belum mereda. Kemudian setelah resmi dipegang Jepang, semua pengungsi disuruh pulang ke Motean. Ketika kembali ke Ujungalang sudah tidak punya apa-apa lagi. Rumah sudah hampir roboh karena kayu-kayu lapuk. Maklum waktu itu rumah-rumah masih terbuat dari kayu dengan atap daun nipah. Alat-alat nelayan sudah banyak yang rusak. Kampung Ujungalang seperti kampung hantu. Selama penduduk Pejagan berada di pengungsian, hasil laut utuh, tidak diambil orang. Penghasilan nelayan di kawasan Segara Anakan luar biasa banyaknya. Ikan, udang dan kepiting melimpah.
Belajar dari pengalaman sulitnya membawa barang saat mengungsi, kebanyakan warga lebih senang menukar hasil laut dengan emas, maksudnya supaya mudah dibawa pergi jika harus mengungsi. Tapi selama jaman Jepang ternyata emas tidak banyak membantu. Meskipun punya emas dan hasil laut melimpah, di pasar tidak ada bahan makanan yang bisa dibeli. Beras tidak ada di mana-mana. Terjadi kelaparan yang hebat. Bencana kelaparan itu bukan karena paceklik, bukan karena tidak ada hasil laut, melainkan terjadi karena Jepang membeli semua hasil panen. Contohnya di Cisumur semua hasil panen yang disimpan petani di lumbung yang masih dalam bentuk gagangan ditimbang. Paling yang ditinggal 175 kilogram, yang lainnya dibeli semua oleh Jepang untuk persediaan perang. Akibatnya di pasar pasar tidak ada orang yang menjual beras. Tidak ada bahan makanan. Demikian juga di seluruh Segara Anakan. Bencana kelaparan luar biasa melanda seluruh penduduk Kampung Laut sampai banyak penduduk yang mati kelaparan. Setiap hari bangkai-bangkai orang mati hanyut di mana-mana. Untuk menyambung hidup penduduk makan apa saja yang bisa dimakan. Sehingga asupan makanan penduduk tidak karuan waktu itu.
Waktu itu makan singkong dianggap makanan nomor satu. Waktu itu ada gaber (ampas singkong parut yang sudah diambil sari patinya), ada dangkel (bongkol) batang pisang diparut, dan buah bogem pun diambil untuk dimakan. Kejadian itu terjadi waktu Jepang di Indonesia. Setelah itu tahun 1945 kemerdekaan negara kita diproklamirkan. Tetapi kemerdekaan itu tidak membawa perbaikan nasib bagi suku Pejagan. Suku pejagan masih saja paceklik di tengah-tengah Segara Anakan dan tetap belum memiliki harapan untuk kembali ke Nusakambangan, tanah leluhurnya.
0 comments:
Posting Komentar