BAGIAN 3: MEMBANGUN PERADABAN BARU DI SEGARA ANAKAN.
Sebagian dari keturunan wiratama Mataram yang tersingkir dari Nusakambangan menetap di tengah lautan Segara Anakan. Menurut cerita ketika itu luas Segara Anakan masih sekitar 20.000 hektar. Salah satu tempat yang mula-mula dihuni adalah daerah di muara Kali (sungai) Malang. Kali Malang mengalir dari Cilacap di antara sungai Dayak dan sungai Dangal menuju ke tengah Segara Anakan.
Di muara sungai itu pertama kali didirikan beberapa rumah panggung dengan tiang pancang dari kayu, berlantai bambu dan beratap daun nipah. Itulah kampung pertama di tengah lautan Segara Anakan. Tapi kampung itu tidak lama berdiri karena terbakar. Tempat itu sekarang disebut Karang Kobar, artinya pekarangan yang terbakar. Di dekat karang Kobar, lebih ke tengah laut ada sebuah nusa (pulau) kecil. Letaknya persis di ujung Kali Malang. Nusa itu disebut Tirang Malang. Masyarakat yang semula di Karang Kobar pindah ke pulau itu dan mendirikan kampung di sana. Karena kampung itu persis di ujung kali Malang maka kampung itu disebut Ujung Alang atau Motean sampai sekarang. Sebagian lagi membangun perkampungan lebih ke utara. Letaknya di sebelah kali Legok Dompo dan di sebelahnya ada Kali Sereh. Jadi perkampungan itu diapit oleh dua muara sungai. Kampung itu kemudian di sebut desa Muara Dua sampai sekarang.
Di sebelah utara Muara Dua ada perkampungan lagi. Letaknya di dekat kali Trajiwa dan kali Panikel. Kampung itu kemudian dinamai Panikel. Dari Penikel terlihat seluruh lautan Segara Anakan, Pulau Nusakambangan sampai Majingklak, dekat Plawangan Barat. Sisanya menyingkir ke arah barat Segara Anakan dan menetap di dekat Congor Tambak tidak jauh dari kali Cibereum. Mereka mendirikan kampung di situ dan kampung itu disebut kampung Ciberem, sebuah kampung yang paling besar di Segara Anakan.
Di dekat Ciberem ada kampung Ujung Gagak. Konon suatu ketika terjadilah banjir Cilingin, atau apa yang sekarang disebut Tsunami. Banjir Cilingin itu membawa pasir, lumpur dan macam-macam sampah dari laut, sehingga laut di daerah Ujung Gagak mengalami pendangkalan. Karena orang laut (nelayan) membutuhkan laut yang dalam, penduduk Ujung Gagak lalu pindah. Ada yang pindah ke Ciberem, ada yang pindah ke muara sungai Sidareja, bahkan lama – lama sampai ada yang pindah ke Tiram Cironggeng. Sedikit ke selatan di dekat Cibrem, ada pulau baru. Pulau baru dalam bahasa Pejagan disebut Karang Anyar atau Kawis (tanah) Enggal. Setelah banjir Cilingin sebagaian masyarakat Ujung Gagak juga ada yang pindah ke pulau baru itu. Namun ada juga penduduk Nusakambangan yang mendirikan kampun di dekat pulau Nusakambangan, yaitu di dekat pesisir pantai di Peniten, dekat Kembang Kuning sekarang. Setelah peristiwa tragis menimpa Mbok "N", penduduk Peniten akhirnya juga pindah lebih jauh ke laut dan membangun rumah di atas panggung. Mereka itulah yang kemudian menjadi cikal bakal penduduk Lempong Pucung dan Klaces saat ini.
Setelah semua penduduk pulau Nusakambangan melarikan diri dan pulau Nusakambangan kosong, Belanda mendirikan penjara di sana. Sebuah penjara yang mematikan, karena meskipun tahanan bisa melarikan diri dari penjara, tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk keluar dari pulau itu karena lautnya sangat luas. Agar benar-benar dapat menguasai Nusakambangan, selain mendirikan penjara untuk tahanan politik di Nusakambangan, Belanda juga membangun pos-pos penjagaan di sepanjang pesisir pulau itu. Orang-orang Rantai ditempatkan di pos-pos penjagaan itu dengan dilengkapi senjata. Pos-pos penjagaan di pantai itu bukan untuk menjaga agar tidak ada tahanan melarikan diri, melainkan untuk menjaga agar penduduk tidak ada yang berani untuk kembali lagi ke tanah mereka di Nusakambangan. Belum cukup dengan pos penjagaan, kemudian Belanda mengeluarkan peraturan bahwa penduduk dilarang menginjakkan satu kaki pun di pulau itu. Jika peraturan itu dilanggar, maka yang melanggar akan ditembak di tempat. Peraturan itu sungguh membuat penduduk takut untuk mendekati pulau Nusakambangan. Sejak itu penduduk Nusakambangan benar-benar kehilangan hak mereka atas tanah leluhur mereka di pulau Nusakambangan.
0 comments:
Posting Komentar