(Foto Lama Desa Ujungalang) |
Kedatangan Wiratama Kesultanan Mataram Islam. (Asal Usul Majingklak, Ujunggagak, Muaradua, Panikel, dan Pelindukan).
Catatan oleh Stephanus Mulyadi: "Kisah Pergulatan Suku Pejagan dalam Sejarah Ingatan Sesepuh Kampung Laut."
Menurut buah tutur Sesepuh Kampung Laut yang diwariskan turun temurun, setelah kerajaan Pajang runtuh, sekitar tahun 1587 Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram. Daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap yang semula berada di bawah kekuasan Kerajaan Pajang lalu menjadi bagian kerajaan Mataram. Cikal bakal ibu kota kabupaten Cilacap terletak di sebuah tanjung di pantai selatan pulau Jawa, persis di mulut Samudera Hindia yang ganas. Namun ke ganasan laut selatan tidak menyentuh Cilacap berkat pulau Nusakambangan yang bak seekor makhluk laut raksasa setia melindungi Cilacap dari ganasnya amukan laut selatan.
Berbeda dengan laut Selatan yang ganas, laut di sebelah utara pulau Nusakambangan, yaitu Segara Anakan sangat tenang, seprti bayi tertidur pulas di pangkuan ibunya. Laut Segara Anakan dihubungkan dengan Samudera Hindia oleh dua selat, yang disebut Plawangan Barat, yaitu pintu masuk ke Segara Anakan dari ujung barat Pulau Nusakambangan dan Plawangan Timur, pintu masuk ke Segara Anakan dari sebelah timur. Selat di Plawangan Barat lebih luas, lebar dan dalam di banding selat di sebelah timur. Sedangkan selat Plawangan Timur sangat berbahaya bagi seseorang yang belum berpengalaman berlayar di antara karang-karang yang bermunculan di permukaan laut.
Lama sekali lautan Segara Anakan yang kaya akan ikan dan hasil laut lainnya berada di bawah kekuasaan para Bajak Laut yang ganas. Hingga akhirnya raja Mataram mengutus lima Wiratama (prajurit utama) ke Cilacap. Mereka bersama pasukannya ditugaskan untuk menjaga keamanan laut di Kawasan Segara Anakan, mulai dari plawangan (celah laut) di pesisir timur, yaitu Sapuregel dan di pesisir plawangan barat yaitu Majingklak, yg sekarang merupakan perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kedua plawangan itu sangat penting, karena dari sanalah para bajak laut masuk ke Segara Anakan. Salah satu dari kelima Wiratama itu adalah seorang perempuan. Tetapi yang dikenal dalam tradisi tutur sampai sekarang hanya empat orang yang laki-laki, karena konon Wiratama yang perempuan tenggelam di Cimiring saat akan memasuki plawangan timur, sehingga namanya tidak pernah diketahui di dalam cerita lisan Suku Pejagan. Sedangkan keempat Wiratama yang selamat bernama Jaga Laut, Jaga Playa, Jaga Resmi, dan Banda Yudha.
Konon, sesampainya di kawasan Segara Anakan, ke empat wiratama Mataram yang selamat itu langsung mengelilingi Segara Anakan guna mengenal medan dengan naik perahu. Mereka berlayar mulai dari plawangan timur, dari pesisir utara pulau Nusakambangan, yaitu dari Paniten, wilayah Kembang Kuning sekarang. Dari situ mereka menuju ke arah utara melewati sebelah barat Segara Anakan. Ketika sampai di dekat daratan di sebelah barat, ada satu dari keempat orang itu yang melompat naik ke daratan. Tempat dia melompat itu sekarang dinamakan Majingklak, yang berasal dari kata "njingklak", bahasa Pejagan, yang berarti melompat. Dari Majingklak mereka berlayar ke arah utara sampai di ujung sebuah pulau kecil. Kebetulan saat mereka sampai di ujung pulau itu, di atas pohon ada seekor burung gagak yang berbunyi. Maka ujung pulau itu dinamakan Ujunggagak. Kemudian mereka terus berlayar ke utara melalui lautan Segara Anakan yang waktu itu masih sangat luas.
(Peta Kampung Laut Lama) |
Kebetulan saat mereka berlayar musim angin kencang sedang melanda Segara Anakan, sehingga gelombangnya sangat besar. Karena itu keempat Wiratama itu berhenti untuk berlindung di sebuah sungai, di sela-sela hutan mangrove. Sungai tempat mereka berlindung itu lalu mereka namai sungai Pelindukan, dari kata ngelinduk bahasa Pejagan artinya berlindung. Setelah angin reda, mereka terus berlayar ke arah utara ke sungai Cikonde. Sampai di situ mereka melihat ada hutan agak tinggi karena tanahnya agak tinggi. Mereka berhenti di situ dan menamai tempat itu Siti Inggil, sekarang disebut Sitinggil. Lokasi tempat para Wiratama Mataram itu berhenti sekarang dinamakan Panembahan Banda Yudha, nama salah seorang dari Wiratama Mataram tersebut, dan di situ didirikan sebuah masjid. Dari Siti Inggil mereka terus berlayar ke arah selatan guna mengamati (mengawasi) suasana segara Anakan dari jauh. Sampai di sebuah pulau terluar, mereka dapat mengwasi seluruh Segara Anakan dan kedua plawangan, baik plawangan timur Sapuregel, maupun plawangan barat Majingklak. Pulau tempat mereka mengawasi Segara Anakan itu kemudian mereka namai Panikel dari kata "niteni" yang berarti mengamati. Tidak jauh dari Panikel mereka menemukan sebuah ujung pulau, yang merupakan muara dari dua sungai. Ujung pulau itu kemudian mereka namai "Muara Dua". Dari Muara Dua mereka berlayar membelah Segara Anakan ke arah Nusakambangan. Sampai di Nusakambangan hari sudah senja. Mereka turun ke darat untuk beristirahat dan bermalam di sebuah desa, di mana terdapat sebuah masjid dari gua. Warga desa itu adalah keturunan keluarga Panembahan Jayaraga.
Pada tahun 1609, Panembahan Jayaraga, yaitu kakak Raja Mataram II, Panembahan Seda Krapyak (1601-1613), pemangku pemerintahan Ponorogo, berusaha mengadakan pemberontakan tetapi segera ditumpas. Selanjutnya ia bersama seluruh keluarganya di buang ke Pulau Nusakambangan, tepatnya di sebuah gua di bagian utara pulau Nusakambangan, yang disebut Masjid Watu, sekarang disebut Masigit Sela. Karena waktu itu waktunya untuk sholat keempat Wiratama menunaikan sholat berjamaah di gua Masjid Watu. Di gua itu juga mereka bermusyawarah untuk membagi tugas masing-masing. Banda Yudha mendapat tugas berjaga di Paniten mengamankan daerah timur Sapuregel dan Plawangan Cimiring. Jaga Resmi bertugas mengamankan Plawangan sebelah barat. Jaga Resmi memilih menetap di Ciawitali, tepatnya di gunung Bregolo. Sedangkan Jaga Praya dan Jaga Laut bertugas berkeliling di wilayah Segara Anakan. Dari para wiratama Mataram inilah kemudian lahir suku bangsa yang mendiami kawasan Segara Anakan. Pada waktu itu suku di Segara Anakan belum dinamakan Kampung Laut. Suku mereka masih disebut suku Pejagan, yang berarti penjaga, sesuai dengan tugas leluhur mereka, keempat Wiratama kerajaan Mataram yang ditugaskan menjaga kawasan Segara Anakan.
Begitulah silsilah asal usul suku Pejagan, yang sekarang disebut orang-orang Kampung Laut.
0 comments:
Posting Komentar